Indonesia Bisa Jual Carbonmonoksida
Menurut anggota Komisi VII DPR RI Inas Nasrullah Zubir, pemerintah Indonesia bisa menjual Carbonmonoksida-nya (CO) yang harganya sekitar 5 sampai 6 dollar AS per ton. Hal tersebut disampaikannya saat Rapat Kerja Komisi VII DPR RI dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang membahas berbagai permasalahan antara lain kasus kebakaran hutan, reklamasi dan revitalisasi di sejumlah wilayah Indonesia, Rabu (27/1/2016).
“Sepengetahuan saya, Indonesia bisa menjual CO-nya, karena Indonesia memiliki hutan alam primer, mangrove, dan hutan gambut yang mampu menyerap Carbonmonoksida. Kalau emisi ini bisa kita kurangi, kalau tidak salah harganya sekitar 5 sampai 6 dollar As per ton,” kata politisi dari Hanura ini, di Gedung DPR RI, Jakarta.
Mestinya, lanjut Inas, kita bisa menjual Carbonmonoksida ini. “Menurut hitung-hitungan para ahli katanya kita memiliki emisi sekitar 5 Giga Ton/tahun. Dengan 5 Giga Ton ini kita mendapatkan sekitar 5 Miliar dollar AS. Kenapa hal ini tidak dilakukan oleh pemerintah,” tanya Inas kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Pada kesempatan tersebut, ia juga menginformasikan bahwa pada saat menghadiri konferensi perubahan iklim di Paris, ia mendapat informasi dari mantan Menteri Lingkungan Hidup Norwegia, bahwa Indonesia dan Norwegia pernah menandatangani Letter of Intent pada Mei 2010, dimana Norwegia memberikan bantuan senilai 1 Miliar Dollar AS guna membantu mengurai emisi Indonesia akibat kerusakan hutan gambut dan hutan darat Indonesia dalam bentuk Moratorium Penebangan Hutan Indonesia selama 2 tahun.
“Namun ketika baru diturunkan 50 juta dollar AS, bantuan tersebut distop, dan sampai hari ini tidak ada kelanjutan bagaimana yang 1 Miliar dollar AS itu akan diturunkan,” terangnya.
Senada dengan Inas, Aryo Djojohadikusumo yang juga turut serta dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris menyatakan berdasar informasi dari salah satu pembicara di Paviliun Indonesia di Paris, yaitu Guru Besar dari Columbia Univercity New York yang juga merupakan salah satu staf khusus Sekjen PBB di bidang lingkungan hidup, bahwa 2 derajat hitungannya adalah 80 milyar ton CO2 yang dibuang ke atmosfer, saat ini diseluruh dunia total emisinya antara 4 sampai 5 Milyar ton.
“Dan di Indonesia, kebakaran hutannya saja sudah 1,5 milyar ton (CO2). Artinya kalau kita mau perubahan iklim 2 derajat itu 80 milyar ton dibagi 4 sampai 5 milyar itu berarti 20 tahun. Jika sekarang 2016, berarti sampai 2036,” kata Aryo.
“Hal ini akan berdampak kepada generasi Indonesia yang akan datang. Mohon konfirmasi apakah data ini benar atau salah,” sambungnya.
Di Komisi VII, sambungnya, sudah membahas program 35.000 megawatt, dan mayoritas bahan bakar fosil, gas bumi dan batubara. “Kami ingin tahu bagaimana dampaknya, apakah kita akan melanggar ini atau tidak. Apakah jangan-jangan, angka yang disebut Pak Inas mengenai kontribusi Norwegia atau negara-negara lain akan habis untuk bayar pajak karbon kita. Atau karbon kredit kita habis untuk bayar pajak emisi dari program 35.000 megawatt kita,” tanya Aryo.
Aryo juga menanyakan, apakah Kementerian LHK sudah membicarakan masalah ini dengan Kementerian ESDM. Ia khawatir apabila Indonesia sudah menandatatangani kesepakatan konferensi perubahan iklim akan mengikat.
Sementara itu, Dewi Coryati (F-PDIP) menyatakan Mengenai perdagangan carbon, menteri pernah menyampaikan kepada Komisi VII bahwa dari pihak Indonesia sudah melakukan kajian-kajian dan negosiasi. Artinya Kementerian LHK sudah serius untuk menindaklanjuti perdagangan carbon ini. Dewi menanyakan kemajuan dari perdagangan carbon ini.
“Daerah pemilihan saya Bengkulu dimana hampir 80% adalah hutan dan kita disulitkan oleh itu, kita tidak diberikan kompensasi tapi kita harus menjaga keberadaan hutan itu,” jelas Dewi. (sc), foto : jaka/parle/hr.